Cari Blog Ini

Dasari CSR dengan Etika Bisnis

>> Rabu, 05 Januari 2011

Apa hubungan business ethic(etika bisnis) dengan corporate social responsibility(CSR)? Sebagian orang mungkin menganggap kalau kedua nya tidak memiliki hubungan apapun. Namun, Vice Chair Board of ManagementIndonesia Business Links (IBL), Chrysanti Hasibuan-Sedyono menjelaskan hal berbeda.

Menurutnya, etika bisnis merupakan dasar atau jiwa dari pelaksanaan sebuah unit usaha. Sementara CSR merupakan manifestasinya. ‘’Etika bisnis berbicara mengenai nilai. Apakah sebuah perusahaan menganut nilai yang baik atau yang buruk. Kalau memang memegang nilai yang baik dalam berbisnis, maka perusahaan tersebut pasti akan menjalankan CSR yang memang bertanggung jawab,’’ paparnya.

Makanya, tambah Chrysanti, etika bisnis lebih melekat kepada individu yang menjalankan entitas bisnis. Sedangkan CSR sebagai hasil atau kebijakan dari perusahaan itu sendiri. Menurutnya, etika bisnis pengusaha di Indonesia semakin hari semakin membaik. Ia menyebut krisis moneter yang sempat meruntuhkan perekonomian Indonesia sebagai contoh dari etika bisnis perusahaan yang buruk. Namun, semakin banyaknya pelaksanaan dan beragamnya kegiatan CSR menunjukkan kalau etika bisnis di Indonesia terus membaik. Hal ini lepas dari diwajibkannya CSR seperti tertuang di Undang-Undang Perseroan tahun 2007. Menjadikan CSR sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan, menunjukkan etika bisnis yang baik.

Memang, perusahaan masih mendefinisikan CSR secara beragam. Namun, secara esensi CSR harus memiliki makna bahwa perusahaan untuk bertanggung jawab kepada stakeholder (pemangku kepentingan). Bukan hanya shareholder(pemegang saham).

Kepentingan bisnis jangka panjang pun dicapai tidak hanya melalui pertumbuhan dan laba. Namun juga sejalan dengan kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan hidup, dan perbaikan kualtias hidup.

‘’Masih banyak yang melihat CSR sebagai sisa-sisa dari keuntungan. Ini terlihat dari banyaknya yang bertanya mengenai berapa dana CSR yang dianggarkan. Seharusnya memang sudah dianggarkan dan menjadikannya built-in di dalam perusahaan dengan menjadikannya sebagai way of doing business. Sehingga CSR tidak menjadi cost, melainkan investasi,’’ ungkap Chrysanti.

Implementasi etika bisnis tersebut akan memiliki beberapa manfaat. Antara lain, memastikan kalau segenap sumber daya perusahaan dikelola secara bertanggung jawab untuk kepentingan seluruh stakeholder.

Kemudian, meningkatkan kinerja perusahaan dengan cara yang berkelanjutan ( sustainable), meningkatkan kepercayaan investor terhadap manajemen perusahaan sehingga lebih menarik sebagai target investasi.

Juga, meningkatkan citra perusahaan di antara stakeholder sebagai good corporate citizen, sehingga mengurangi biaya untuk melawan publisitas negatif. Serta meningkatkan nilai perusahaan. Dengan memiliki etika bisnis yang baik, Chrysanti percaya kalau dunia usaha dapat memberikan kontribusi terhadap pengentasan praktik korupsi yang kini marak terjadi. Menurutnya, suap yang merupakan salah satu bentuk korupsi memerlukan dua sisi.

Dunia bisnis harus sadar dan yakin kalau menjalankan usaha dengan benar ada gunanya, yakni akan lebih sustain. Contohnya, Nike yang pernah kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan merugi karena mempekerjakan anakanak dan memberikan upah minimum.

‘’Dunia usaha harus teguh hati. Memang ada ethical dilemmaapakah akan teguh hati menjalankan bisnis dengan benar atau mengikuti sistem yang korup. Banyak yang bilang hal ini sudah biasa, tapi tidak selalu yang biasa itu benar. Makanya, pelaku usaha

perlu untuk keluar dari yang biasa dan melakukan yang benar,’’ ungkapnya. Project officerTransparency International Indonesia (TII), Rivan Prahasya menambahkan, suap memang menjadi praktik korupsi yang umum terjadi di dunia usaha. Biasanya dilakukan untuk memperlancar izin usaha dan untuk mendapatkan proyek kerja.

‘’Malah kalau ditelisik lebih jauh, ada indikasi kalau penyuapan dimulai dari tawaran pengusaha. Makanya, harus dikembangkan etika bisnis yang baik untuk memotong mata rantai suap tersebut. Tidak kalah penting fungsi pengawasan yang dilakukan dari kalangan mereka sendiri,’’ paparnya.

Menurutnya, tidak mudah untuk mengubah kebiasaan dan perilaku yang selama ini telah terbentuk. Makanya, upaya ini masih harus diikuti dengan berbagai tindak lanjut. Seperti penegakan hukum dan penerapan kebijakan yang jelas. Dengan begitu baru korupsi dapat diatasi.

TII, katanya, mencoba untuk melibatkan semua elemen dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari pemerintah, kalangan dunia usaha, hingga masyarakat. Kepada pemerintah, ia menghimbau agar ada reformasi kebijakan.

Kepada pengusaha, diupayakan untuk mengubah perilaku korupsi yang selama ini telah berjalan. Sementara kepada masyarakat, ia meminta untuk terus melakukan pengawasan terhadap seluruh proses yang berjalan.

Hal senada diungkapkan Direktur Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dedie A Rachim. Menurutnya, harus ada etika bisnis yang baik. Tidak hanya dari sisi dunia usaha, namun juga seluruh komponen bangsa. ‘’Harus ada upaya yang cukup dari diri dunia usaha untuk melihat sektor mana yang rawan korupsi dan kemudian menerapkan etika bisnis yang baik secara internal di seluruh lapisan perusahaan,’’ ujar Dedie. ed: irwan kelana


Posisi Indonesia Dalam Hal Korupsi

Menurut berbagai survei nasional dan internasional, gelar negara korup diberikan dengan melihat tiga hal pokok. Yakni, mutu pelayanan publik, country risk, dan daya saing negara secara keseluruhan. Berikut posisi Indonesia berdasarkan beberapa hasil survei lembaga independen.

- Transparency International
Indonesia memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,8 dengan skala 1-10 (1=terburuk, 10=terbaik).
- Bank Dunia
Hasil Indikator Kemudahan Melakukan Bisnis di Indonesia memperlihatkan, perlu 12 prosedur, 151 hari, dan biaya 130,7 persen dari incomeper kapita. Bandingkan dengan Korea Selatan yang membutuhkan 12 prosedur, 22 hari kerja, dan biaya 17,7 persen.
- LPEM-UI
Di Indonesia, dibutuhkan 16 hari hanya untuk mengurus izin keselamatan kerja, 26 hari untuk izin gangguan, 27 hari untuk izin prinsip, dan 43 hari untuk izin lingkungan hidup.
- IMD
The World Competitiveness Scoreboard 2006 memperlihatkan kalau Indonesia ada di posisi/ranking 59, hanya satu tingkat di atas Venezuela.
- WEF
Global Competitiveness Index memberikan skor 4,26 dengan skala 1-5 dan ranking ke-50.
- PERC
Pada pringkat negara terkorup di Asia, Indonesia memiliki skor 9,27.

Sumber : http://www.ti.or.id/index.php/news/2010/11/22/dasari-csr-dengan-etika-bisnis

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP